Jumat, 03 Juni 2011

Refleksi Terakhir Filsafatku


Setiap orang dapat menciptakan ‘dunia’ mereka sendiri lewat imajinasi. Dari berpikir, dapat lahir kata-kata yangmengispirasi, dapat pula tercipta teladan yang menggerakkan. Dalam konteks filsafat, kegiatan berpikir yang dilakukan oleh manusia itu tidak terbebas dari ruang dan waktu karena objek pikiran itu sendiri lahir dari apa-apa yang terjadi pada ruang dan waktu tersebut. Namun demikian, apa-apa yang kita pikirkan selalu saja tidak dapat menjelaskan semua yang dirasakan oleh hati. Apalagi hati yang bening, yang senantiasa membawa alam pikir pada koridor asasi seorang manusia.
Setiap orang dapat berbicara tentang hakekat, sesuai kapasitas dan lokus-lokus ruang dan waktu yang membersamainya. Ada kalanya hakekat yang kita sampaikan tidak dapat mengenai sasaran atau tidak merasuk ke sanubari lawan bicara. Apalagi jika lawan bicara tersebut adalah orang yang ‘berdimensi’ di atas kita, bisa dianggap lancang. Maka, pandai menempatkan diri dalam ruang dan waktu adalah satu pilihan yang bijak. Ya, selalu akan indah pada saatnya. Satu hal yang ikut membedakan kedalaman makna hakekat yang terucap dari masing-masing lisan adalah motivasi yang menyelubunginya. Semakin bening motivasinya, semakin dekat pula jarak antar hati itu.
Aku, dirimu, ataupun orang lain bisa saja berfilsafat karena setiap diri memiliki persepsi dan kepekaannya masing-masing. Filsafat dapat berarti dirimu, dapat pula dekat dengan makna bagaimana seseorang menempatkan diri. Maka, tidak heran bila dapat pula dikatakan bahwa filsafat itu sombong manakala seseorang berbicara tidak sesuai dengan kapasitasnya. Bila dilihat dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang ‘pintar’ yang terlihat ‘kurang cakap’ karena tidak pandai menempatkan diri dalam hal berbicara. Tetapi sebaliknya, tidak jarang ditemukan, orang yang ilmunya pas-pasan terlihat amat memukau karena pandai merangkai kata. Ya, demikianlah…terkadang dunia sulit dimengerti.
Dengan usaha yang maksimal disertai do’a yang tak pernah putus, setiap orang dapat mencapai titik terdekat dengan cita-citanya. Tentu saja, sebagaimana sifat alami dari sebuah pilihan yang telah diambil, akan ada resiko yang selalu menyertainya. Dan jika kau tahu teman, mereka yang sukses dan berusaha menjadi bijak adalah mereka yang mampu mengelola dengan baik hubungan antara resiko, harapan, dan tantangan. Dengan mengingat pula bahwa jiwa manusia itu naik turun. Terkadang malas, terkadang rajin. Terkadang lemah, terkadang bersemangat. Bahkan terkadang bakhil. Tapi teman, mereka yang kaya sejatinya adalah mereka yang banyak harta tapi tak punya karya. Sedangkan yang miskin adalah yang sedikit harta tetapi banyak karya. Demikianlah …
Bagaimanapun dunia ini berputar, selalu ada orang-orang yang setia pada sebuah keikhlasan. Tak pernah mengeluh meski letih dan berat hidup yang dijalani. Tak berhenti tersenyum meski pahitnya hidup lebih banyak dirasa daripada manisnya. Ya, karena ukurang pandangan yang mereka pakai adalah ukuran prasangka terbaik kepada Robb-Nya, bukan ukuran pandangan manusia pada umumnya. Dalam matematika, keikhlasan dapat diartikan sebagai . Mengapa?? Karena saat seseorang meng-nol-kan diri, berarti ia memasrahkan segala usahanya hanya kepada Sang Penentu takdir, Robb semesta alam. Sehingga bagaimana pun banyaknya hasil yang mungkin, semua akan senantiasa dipandang dengan prasangka terbaik kepada Robb-Nya.
Dalam hubungannya dengan pengabdian pada dunia pendidikan, khususnya matematika, setinggi-tingginya filsafat belajar matematika adalah jika sampai pada keadaan dimana siswa sendirilah matematika itu. Seorang anak TK bisa dikatakan sebagai seorang peneliti, begitu pula dengan siswa SMP dan SMA tidak hanya mereka yang belajar di bangku universitas, karena pada hakekatnya, setiap diri adalah peniliti pada masing-masing level dan dunianya.  

Kuliah terakhir filsafat, 26 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo...monggo...