Rabu, 27 April 2011

Filsafat Matematika dan Pendidikan Matematika


Kuliah filsafat oleh Pak Marsigit (Kamis, 21 April 2011)
Filsafat Matematika dan Pendidikan Matematika
Manusia bisa melakukan abstraksi (idealisasi) dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari untuk kemudian melahirkan bukti yang dapat direalisasikan sebagai fenomena yang baru. Hasil abstraksi tersebut ada yang bersifat tetap (Phermenides) dan ada pula yang sifatnya berubah-ubah (Heraklitos).
Ruang lingkup filsafat matematika sendiri dibagi menjadi tiga, yaitu area hakekat (ontologi), area metode (epistemologi), dan area manfaat(visiologi). Sedangkan semua yang ada dalam pikiran kita dapat diekstensikan untuk direfleksikan kepada lingkungan sekitar dan dapat pula diintensikan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu kepada Tuhan. Namun, keduanya sama-sama akan menemukan kenyataannya pada sebuah fenomena.
Menurut Hilbert, ada beberapa macam pemikiran yaitu fondamentalis, formalis, dan aksiomalis. Ketiganya dapat juga disebut sebagai konsisten, tunggal, dan pasti. Kemudian dapat menghasilkan hal yang bersifat koheren, identitas, absolute, konsisten, dan tunggal. Bila dihubungkan dengan matematika, maka ada beberapa penyelenggara pendidikan seperti UGM, ITB, IPB, dan UI yang melahirkan matematikawan.
Kategori pikiran seperti yang telah dikemukakan Hilbert di atas semuanya terbebas dari ruang dan waktu. Lain halnya dengan pendidikan matematika, terutama matematika sekolah yang amat terikat dengan ruang dan waktu. Mengapa demikian, karena matematika sekolah dan dinamika pendidikan tidak terlepas dari siswa dan fenomena yang menyertainya.
Dalam perkembangannya, lahir realistik matematika sebagai salah satu upaya mencari metode yang tepat untuk membelajarkan matematika kepada siswa. Pada tingkat sekolah dasar (terutama kelas-kelas permulaan) siswa belajar matematika dengan pendekatan kepada benda-benda konkrit. Siswa mulai dikenalkan matematika lewat skema saat memasuki tingkat sekolah menengah pertama dan pada sebagian masa di sekolah dasar pada tingkat akhir. Di akhir masa sekolah menengah pertama dan tingkat awal sekolah menengah atas, siswa belajar matematika dengan bantuan modul. Selanjutnya, pada tingkat universitas, seorang pembelajar akan lebih banyak disuguhkan pada matematika yang bersifat abstrak dan formal.
Sehubungan dengan realistik matematika, Gestalt menjelaskan bahwa untuk memahami benda-benda ruang yang abstrak diperlukan alat peraga yang berbentuk konkrit. Maka, keberadaan alat peraga matematika amat membantu terutama bagi siswa sekolah dasar untuk memahami matematika sesuai materi yang terkait. Lebih jauh lagi, untuk memahami hakekat sesuatu misalnya matematika, maka meletakkan kesadaran kita di awal adalah satu hal yang penting.

Kamis, 14 April 2011


Desi Furidaniyah
Pendidikan Matematika 2008
08301241043

Kuliah Filsafat oleh Pak Marsigit, Kamis 7 April 2011

Mengambil jarak dari bumi, mungkin bisa diartikan sebagai suatu refleksi untuk dapat menemukan titik sebagai hasil dari usaha diri melakukan abstraksi. Ketika itu, jiwa mengambil jarak dari ruang dan waktu, maka adalah sebuah keharusan menghadirkan ikhlas pada lembaran paling awal. Karena tanpanya, mungkin semua usaha abstraksi tersebut akan terasa gelap, dan seperti tak berujung pada sebuah titik.
Titik hasil abstraksi tadi adalah sebuah potensi sekaligus fakta. Mengapa demikian? Karena dari titik tadi berbagai hal yang ada di dalam pikiran bisa saja menjadi kenyataan, maka ia adalah sebuah potensi. Dari titik itu pula diri dapat mengambil pelajaran atas suatu kejadian, maka ia adalah fakta. Baik potensi maupun fakta yang lahir dari proses abstraksi bisa menjadi bermakna bila ada kesadaran yang menyertainya. Maka di sini, saya mengartikan kesadaran itu sebagai sebuah kehadiran jiwa yang senantiasa hidup, atau dengan kata lain hati yang tidak mati. Sebagaimana orang bijak mengatakan bahwa ilmu hanya bisa masuk atau pun terjadi pada hati yang senantiasa hidup.
Dengan menghadirkan kesadaran, dalam hal ini hati, maka titik hasil abstraksi tadi bisa berubah menjadi apa pun, bergantung pada hal awal yang menjadi penyebab kita melakukan abstraksi. Maka bukan menjadi hal yang mengherankan jika kita pun bisa memikirkan dunia atau dengan kata lain membuat miniatur dunia dalam pikiran kita.  Namun, satu hal yang mesti kita ketahui adalah bahwa sejauh apa pun diri berusaha memikirkan tentang dunia, maka hanya setengah dunia yang baru bisa kita raih, karena apa yang kita pikirkan selalu tidak dapat menerjemahkan seluruh hal yang ada dalam hati.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kita pasti sering atau setidaknya pernah melakukan refleksi pada setiap peristiwa yang dialami. Mungkin memang benar adanya jika dikatakan bahwa refleksi adalah kegiatan berpikir yang paling tinggi karena melalui refleksi, tak jarang ditemukan ‘jalan-jalan alternatif’ yang dinilai lebih baik, menemukan penyelesaian suatu masalah, mengambil pelajaran untuk dijadikan bahan perbaikan untuk langkah selanjutnya, atau bahkan dapat merasakan betapa diri amat kecil di hadapan kekuasaan Alloh, Pemilik hidup ini.
Hati, selalu dapat memikirkan lebih dalam dan membawa diri untuk menemukan makna yang lebih dari sekadar apa-apa yang nampak oleh mata dunia. Maka benar adanya jika ada orang bijak yang mengatakan bahwa energi tubuh manusia tidak bekerja dalam tataran pikiran, tetapi energi tubuh manusia bekerja dalam tataran hati. Hal yang amat dekat dengan konsep ini adalah bahwa apa-apa yang sampai bergelora dalam hati akan lebih dekat untuk terwujud daripada hal-hal yang masih sekadar berada dalam pikiran. Mengapa? Karena yang sudah bergelora dalam hati akan mencari jalannya untuk sampai pada permukaan, yaitu lewat doa dan bagi orang beriman, apakah kita akan meremehkan kekuatan sebuah doa??
Jika dikaitkan dengan doa, mungkin refleksi amat dekat dengannya. Melalui refleksi, jiwa dapat menilai apakah diri sejatinya  hidup bahagia ataukah tidak, atau bila menggunakan konsep kurva  kesetimbangan pada statistika, maka posisi bahagia ada pada x = 0, yaitu posisi netral, dalam arti tidak bermasalah. Tapi kawan, saya rasa tidak bijak jika menganggap bahwa masalah sebagai petaka, karena sejatinya masalah tersebut adalah suatu tahap bagi diri untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu lebih bijak dan lebih dewasa. Tentu saja, hal ini hanya dapat ditemukan bila diri sering melakukan refleksi, melihat lebih dalam pada sebuah kenyataan. Maka melalui doa, apa-apa yang sudah kita dapatkan lewat refleksi sebelumnya dapat lebih dekat dalam dekapan Alloh, yang menjadi sebuah keniscayaan untuk lebih dekat pula pada kenyataan.
Maka, seberapa seringkah diri melakukan refleksi pada setiap hal yang singgah dalam kehidupan kita masing-masing???